Hari ini, aku melihatmu memakai jaket putih kesukaanmu. Persis seperti apa yang kamu kenakan kemarin. Berjalan seperti biasanya dengan tangan di dalam saku dan langkah yang tegap. Jujur. Kamu terlihat keren dan aku suka caramu. Caramu melakukan apapun: berbicara, tertawa, berjalan, semuanya.
Ada yang aneh dengan perasaanku. Memang aku tak berhak untuk menentukan kamu harus bergaul dengan siapa, secara aku bukanlah apapun di hatimu bahkan mungkin aku hanya kamu anggap sebagai kenalan saja, bukan? Nyesek.
Aku masih duduk di sini ketika kamu lewat di depanku. Aku memang berada di pembicaraan kawanku mengenai seorang kawan, namun pikiranku tidak terfokus dalam pembicaraan itu. Mungkin, pikiranku tengah menangkapmu kini. Malu.
Seorang kawanku merasa tidak enak badan hari ini. Dua hari yang lalu, dia sempat ijin untuk check kesehatan di poliklinik dekat sekolahku. Mungkin, try out yang berulang-ulang ini membuatnya sedikit lelah. ‘Yah, semoga cepat sembuh kawan,’ doaku dalam hati.
Mr. Sam sedang memberi pencerahan saat pandanganku tak lagi terfokus pada apa yang terjadi. Beberapa kali aku menoleh ke arah Nestie di samping kananku. Berharap dengan tolehan itu, aku bisa melihat senyum khas-mu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ah, aku tidak bosan.
Tolehan ketiga kali ini benar-benar membuatku sedikit merasa envy dengan kawanku yang sedang tidak enak badan tadi. Hei! Apa yang kamu lakukan? Kamu meminjaminya jaket kesayanganmu? Ah!
Aku iri. Aku ingin berada di posisi kawanku itu. Merasakan hangatnya jaket yang selalu kamu gunakan. Aku sungguh menginginkannya.
Kamu! Kamu tidak benar-benar sakit, bukan? Kamu hanya ingin mencari perhatiannya, bukan? Kamu juga mencintainya? Katakan saja. Aku tak marah. Aku, aku marah.
Aku tak tahu bila pada akhirnya, jaket putihmu itu menjadi penyebab kehilangan konsentrasiku kali ini. Tapi, apa aku berhak cemburu padamu? Kita memang pernah dekat, tapi itu dulu. Dulu sekali saat zaman edo, mungkin.
Sebenarnya, satu pertanyaan yang sering muncul dalam benakku adalah: ‘mengapa kita sekarang berjauhan? Seakan ada pembatas di antara kita. Apa batas bernama rahasia itu yang menghalangi kita?’
Jujur. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu hingga pertemanan kita seakan hilang begitu saja. Kamu tahu, sebenarnya aku berencana mengungkapkan perasaanku padamu setelah kelulusan nanti. Tapi, apa kamu masih akan mendengarnya? Ah. Sudahlah. Aku tak akan mengatakannya padamu. Aku tahu bila kamu telah memiliki wanita idaman yang tak kutahu siapa itu. Apa mungkin wanita yang sedang tidak enak badan itu? Hem.
Aku masih menjadi penggemar rahasiamu. Kamu memang tak pernah memperhatikan bahwa ada yang memperhatikanmu selama ini: aku. Mungkin, suatu saat kamu akan mengingatku walaupun hanya sekali, namun kuharap ketika itu, kamu mengingatku bahwa aku pernah memperhatikanmu sepenuh hati.
No comments:
Post a Comment